BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua
individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan
diri. Kajian sosiologi tentang pendidikan mencakup semua jalur pendidikan, baik
sekolah maupun pendidikan luar sekolah, terutama apabila ditinjau dari
sosiologi maka pendidikan keluarga sangat penting, karena keluarga merupakan
lembaga sosial pertama bagi setiap manusia. Kegiatan pendidikan yang sistematis
terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh masyarakat.
Paparan tersebut menyoroti terutama pengaruh masyarakat terhadap
pendidikan, mulai dari keluarga, sekolahan, dan sebagainya. Dari sisi lain yang
tak kalah pentingnya adalah pengaruh pendidikan terhadap masyarakat. Tentang
hal ini terjadi banyak masalah yang telah dikaji sejak dahulu. Apakah
pendidikan berupaya untuk mempersiapkan anak untuk hidup didalam masyarakatnya
(penekanan pada sosialisasi), atau pendidikan berupaya untuk mempersiapkan anak
merombak atau membarui bagi masyarakat
(penekanan pada agen pembaruan). Tampak seperti ini seharusnya pendidikan yang dilaksanakan umumnya tidak memilih salah
satu pendapat tersebut, tetapi seharusnya diupayakan seimbang antara
pelestarian dan pengembangan. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin
intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan
tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan. Maka dari itu diperlukan
suatu pemahaman khusus tentang landasan sosiologi pendidikan.
1.2
Rumusan Masalah
Secara
umum, rumusan masalah pada pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah lahirnya sosiologi?
2. Apa latar belakang
historis sosiologi pendididkan?
3. Apakah pengertian landasan sosiologi
pendidikan?
4. Norma apa saja yang terkandung dalam landasan
sosiologi?
5. Apa saja ruang lingkup yang dipelajari
oleh sosiologi pendidikan?
6. Apa fungsi kajian
sosiologi pendidikan?
7. Apa
yang dimaksud dengan masyarakat sebagai landasan
sosiologis pendidikan nasional?
1.3 Tujuan Masalah
Adapun yang menjadi tujuan dari rumusan
masalah makalah ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mengetahui
sejarah lahirnya sosiologi.
2. Mengetahui
latar belakang historis sosiologi pendidikan.
3. Mengetahui
pengertian landasan sosiologi pendidikan.
4. Mengetahui
norma yang terkandung dalam landasan sosiologi.
5. Mengetahui
ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan.
6. Mengetahui
fungsi kajian sosiologi pendidikan.
7. Mengetahui
maksud dari masyarakat sebagai
landasan sosiologis pendidikan nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahirnya Sosiologi
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan
tentang masyarakat, sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh.
Sosiologi sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh
filsafat. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte
(1798-1857), sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari tentang
masyarakat.
Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang menjelma dalam
realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas sosial, maka lahirlah berbagai
cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi
agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan.
Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari
tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer,
Karl Marx,
Emile Durkheim,
Ferdinand Tonnies, George Simmel,
Max Weber,
dan Pitirim Sorokin (semuanya
berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam
pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan
sosiologi. Emile Durkheim (ilmuwan sosial Perancis)
berhasil melembagakan sosiologi sebagai disiplin akademis. Emile memperkenalkan
pendekatan fungsionalisme yang
berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai
pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial. Pada tahun 1876 di Inggris Herbert Spencer
mempublikasikan sosiologi dan
memperkenalkan pendekatan analogi
organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi
yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Karl Marx
memperkenalkan pendekatan materialisme
dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari
perubahan dan perkembangan masyarakat. Max Weber
memperkenalkan pendekatan verstehen
(pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan,
tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia. Di Amerika Lester
Frank Ward mempublikasikan Dynamic
Sosiology.
2.2 Latar
Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological
Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward yang berpandangan
demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama
perbedaan kelas sosial dalam masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki
kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang
berpendidikan lebih tinggi memiliki peluang lebih besar untuk maju dan memiliki
kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda
antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan
perbedaan-perbedaan tersebut ia mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan
wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar di USA berlangsung 11
tahun sampai tamat Senior
High School (Rochman Natawidjaja, et. al., 2007 : 78).
Buah pikiran Ward dijadikan landasan untuk
lahirnya Educational
Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal
abad ke-20. Dia
sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan” (Rochman Natawidjaja, et. Al.,
2007: 79). Fokus kajian Educational
Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat
untuk memecahkan permasalahan social dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk
mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas
dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yang
menyelenggarakan perkuliahan Educational
Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya,
pada tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society
for the Study of
Educational Sociology
dan menerbitkan Journal of
educational Sociology.
Pada tahun 1928, organisasi profesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi
pendidikan dari American
Sociological Society.
Pada tahun 1928 Robert
Angel mengkritik Educational
Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education
dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sehingga Sociology of Education
bisa menjadi sumber data dan informasi ilmiah, serta studi akademis yang
bertujuan mengembangkan teori dan ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian
yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog untuk
melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka
diubahlah nama Educational
Sociology menjadi Sociology
of Education dan Journal
of Educational
Sociology menjadi Journal
of the Sociology of Education. Serta seksi Educational Sociology
dalam American
Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education
yang berlaku sampai sekarang. Penelitian dan publikasi hasilnya menandai
kehidupan Sociology of
Education sejak pasca Perang Dunia II.
Di Indonesia, perhatian akan peran
pendidikan dalam pengembangan masyarakat dimulai sekitar tahun
1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di
Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia.
Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk
memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada
mulanya program pendidikan
itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis
sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat
itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R.Dewi Sartika.
2.3 Pengertian
Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu
yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni hewan. Meskipun
demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit dari pengelompokan hewan.
Wayan
Ardhana (1968) menyatakan ciri-ciri hidup berkelompok hewan pada kutipan
berikut.
Pada hewan, hidup
berkelompok memiliki cirri-ciri: Ada pembagian kerja yang tetap pada
anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada
komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yang hidup dalam
suatu kelompok dengan individu yang hidup dalam kelompok lain.
Ciri-ciri hewan tersebut dapat pula
ditemukan pada manusia. Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh
filsafat, yang berusaha mencari hakekat masyarakat yang sebenarnya. Filsafat
sosial sering membedakan manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota
masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang realitas sosial itu
berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Kegiatan pendidikan merupakan
suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang
memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang
sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh
masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan
meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut maka
lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau asumsi dalam
penerapan pendidikan yang bertolak pada interaksi antar individu sebagai mahluk
sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu
proses interaksi antara dua individu (pendidik dan peserta didik) bahkan dua
generasi yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri. Pengembangan diri
tersebut dilakukan dalam kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan
pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pendidikan keluarga sangat
penting, karena keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama bagi setiap
manusia. Proses sosialisasi dimulai dari keluarga dimana anak mulai
mengembangkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan
sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai
moral, budaya dan ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga.
Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang
dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat dengan perencanaan dan pelaksanaan yang
mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan juga dipengaruhi oleh
berbagai kelompok kecil dalam masyarakat. Seperti kelompok keagamaan,
organisasi kemasyarakatan. Menjadi penekanan dalam kegiatan ini adalah aspek
sosiologis, dan pada aspek pembaharuan masyarakat. Dalam pelaksanaan di
berbagai negara diupayakan keseimbangan antara pelestarian dan pengembangan
budaya dan masyarakat.
2.4 Norma-Norma
yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar
pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh
suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus
memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam
masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan
damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi
norma-norma sosial
yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing
anggota masyarakat.
Dalam
kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh
pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori bahwa
manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa
saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain.
Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan
kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti
ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat
satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang
kuat.
Paham kolektivisme memberikan kedudukan
yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara
perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya.
Sedangkan paham integralistik dilandasi
pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu
sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik
menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks
strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan
masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia
menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat sebagai berikut:
1. Kekeluargaan dan gotong
royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat.
2. Kesejahteraan
bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat .
3. Negara melindungi warga
negaranya.
4. Selaras
serasi seimbang antara hak dan kewajiban.
Jadi, pendidikan di Indonesia
tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan
juga kualitas struktur masyarakatnya.
2.5 Ruang
Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan sepakat bahwa,
sesuai dengan namanya Sosiologi
Pendidikan atau Sociology of Education
adalah cabang ilmu Sosiologi yang pengkajiannya diperlukan oleh professional
dibidang pendidikan (calon guru, para guru, pemikir pendidikan, dan para mahasisiwa serta
professional sosiologi.
Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu
memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat
mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu
berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional
maupun lokal.
Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial
dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang
dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang yaitu:
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek
masyarakat lain, yang mempelajari:
a.
Fungsi
pendidikan dalam kebudayaan.
b.
Hubungan
sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c.
Fungsi
sistem pendidikan dalam memelihara dan mendorong proses sosial dan perubahn
kebudayaan.
d.
Hubungan
Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e.
Fungsionalisasi
sistem pendidikan formal dalam hubungannya dengan ras, kebudayaan, atau
kelompok-kelompok dalam masyarakat
2. Hubungan kemanusiaan di sekolah yang
meliputi:
a.
Sifat
kebudayaan sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan di luar sekolah.
b.
Pola
Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.
3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya,
yang mempelajari:
a.
Peranan
sosial guru.
b.
Sifat
kepribadian guru.
c.
Pengaruh
kepribadian guru terhadap tingkah laku siswa.
d.
Fungsi
sekolah dalam sosialisasi anak-anak.
4. Sekolah dalam komunitas, yang mempelajari
pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam
komunitasnya, yang meliputi:
a.
Pelukisan
tentang komunitas seperti tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b.
Analisis
tentang komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum
tidak terpelajar.
c.
Hubungan
antara sekolah dan komunitas dalam fungsi kependidikannya.
d.
Faktor-faktor
demografi dan ekologi dalam hubungannya dengan organisasi sekolah.
Keempat bidang yang
dipelajari tersebut sangat esensial sebagai sarana untuk memahami sistem
pendidikan dalam kaitannya dengan keseluruhan hidup masyarakat (Wayan Ardhana,
1986: Modul 1/67).
Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa
“sosiologi pendidikan secara operasional sebagai cabang sosiologi yang memusatkan
perhatian mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata
kehidupan lain, unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi sosial dalam
satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada kehidupan peserta didik”.
2.6 Fungsi
Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi
eksplanasi
yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman
tentang fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk diperlukan
konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak generalisasi
empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap, data dan informasi mengenai
hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari lingkungan sendiri maupun dari
lingkungan lain, serta informasi tentang masalah dan tantangan yang dihadapi.
Dengan informasi yang lengkap dan akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman
dan wawasan yang baik dan akan dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang
dihadapi secara akurat. Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui
berbagai media komunikasi.
2. Fungsi prediksi
yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan
pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan
dengan itu, tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat
bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat
melalui berbagai media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam
perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan
baru.
3. Fungsi utilisasi
yaitu menangani permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan
pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang
memerlukan dukungan pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi,
prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan
fenomena-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari model-model
pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus,
Sosiologi Pendidikan berusaha untuk menghimpun data dan informasi tentang
interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan
dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara lembaga pendidikan
dan komunitas sekitarnya, dan tentang hubungan antara pendidikan dengan pranata
kehidupan lain.
2.7Masyarakat
Sebagai Landasan Sosiologis Pendidikan Nasional.
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang
yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung dan terikat oleh nilai dan
norma yang dipatuhi bersama, pada umumnya bertempat tinggal di wilayah
tertentu, dan adakalanya mereka memiliki hubungan darah atau memiliki
kepentingan bersama. Masyarakat dapat merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti
luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat dalam arti luas pada umumnya lebih
abstrak misalnya masyarakat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit
misalnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri
utama, antara lain:
1. Ada
interaksi antara warga-warganya.
2. Pola tingkah laku warganya
diatur oleh adapt istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khas.
3. Ada
rasa identitas kuat yang mengikat para warganya.
Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994: 100)
menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas, dan
rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga
sebagai patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial masyarakat
Indonesia mempunyai perjalanan sejarah yang panjang”.
Dari
dulu hingga kini, ciri yang menonjol dari masyarakat Indonesia adalah sebagai
masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui
perjalanan panjang, masyarakat yang bhineka tersebut akhirnya mencapai satu
kesatuan politik untuk mendirikan satu negara serta berusaha mewujudkan satu
masyarakat Indonesia sebagaiu masyarakat yang bhinneka tunggal ika. Sampai saat
ini, masyarakat Indonesia masih ditandai oleh dua ciri yang unik yaitu:
1. Secara horizontal ditandai oleh adanya
kesatuan-kesatuan social atau komunitas berdasarkan perbedaan suku, agama, adat
istiadat, dan kedaerahan.
2. Secara vertical ditandai oleh adanya perbedaan pola
kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.
Wayan Ardhana (1986) menyatakan
bahwa pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol
dinyatakan dalam kutipan sebagai berikut:
Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok sosial atau golongan sosial jajajahan
yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi, seringkali anggota masyarakat atau kelompok tidak mengembangkan konsensus
di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, diantara kelompok
relative seringkali mengalami konflik. Terdapat saling ketergantungan di bidang
ekonomi, adanya dominasi politiuk oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok sosial
yang lain, secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh.
Masyarakat Indonesia setelah
kemerdekaan utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami
perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik,
baik secara horizontal maupun secara vertikal, masih dapat ditemukan, demikian
pula halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus
seluruhnya. Namun niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa
Indonesia serta kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan, maka sisi
ketunggalan dari “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya
dilakukan, baik melalui kegiatan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah
menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Berbagai upaya telah dilakukan
dengan tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia.
Hal terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yang semestinya dengan
antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di dalam kurikulum sekolah.
Perlu ditegaskan bahwa muatan local di dalam kurikulum tidak dimaksudkan
sebagai upaya membentuk “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan
dilaksanakan dalam rangka mewujudkan “manusia Indonesia” di suatu lokal
tertentu. Dengan demikian akan dapat diwujudkan manusia Indonesia dengan
wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan tetapi yang memahami dan menyatu
dengan lingkungan (alam, sosial, dan budaya) disekitarnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sosiologi lahir di Eropa pada abad ke-19 oleh seorang sosiologis yang
bernama August Comte pada tahun 1839, kemudian diikuti oleh negara-negara lain.
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological
Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward menyampaikan pidato
pengukuhan dengan menekankan bahwa sumber utama perbedaan kelas sosial dalam
masyarakat Amerika adalah perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya
kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Buah pikiran Ward dijadikan landasan
untuk lahirnya Educational
Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal
abad ke-20. Dia sering dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”.
Landasan sosiologis pendidikan sendiri adalah acuan atau asumsi dalam
penerapan pendidikan yang bertolak pada interaksi antar individu sebagai mahluk
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Landasan sosiologi mengandung norma dasar yang bersumber dari norma
kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Ada tiga macam norma yang
dianut oleh pengikutnya, yaitu:
1.
Individualisme.
2.
Kolektivisme.
3. Integralistik.
Ruang lingkup sosiologi pendidikan meliputi empat bidang, yaitu:
1. Hubungan
sistem pendidikan dengan sistem sosial lain.
2. Hubungan
sekolah dengan komunitas sekitar.
3. Hubungan
antar manusia dalam sistem pendidikan.
4. Pengaruh
sekolah terhadap perilaku anak didik.
Sosiologi pendidikan dituntut melakukan tiga fungsi pokok, yaitu:
fungsi eksplanasi, fungsi prediksi, dan fungsi utilisasi. Sosiologi pendidikan
bertujuan untuk mengembangkan fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan
(pemahaman eksplanasi, prediksi, dan utilisasi) melalui pengkajian tentang
keterkaitan fenomena-fenomena sosial dan pendidikan, dalam rangka mencari
model-model pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan masyarakat.
3.2
SARAN
Manusia sebagai makhluk sosial, maka
setiap manusia seharusnya menjadikan sosiologi sebagai landasan bagi proses dan
pelaksanaan pendidikan, karena memang karakteristik dasar manusia sebagai
makhluk sosial akan berkembang dengan baik dan menghasilkan
kebudayaan-kebudayaan yang bernilai serta peradaban tinggi melalui pendidikan. Maka
perlu adanya komitmen dari pemerintah untuk memberikan suatu pengembangan yang
memadai tentang sosiologi pendidikan. Seperti tampak seperti ini seharusnya
pendidikan melaksanakan pengembangan, yang dilaksanakan umumnya tidak memilih
salah satu tetapi seharusnya diupayakan seimbang antara pelestarian dan
pengembangan sosial.
DAFTAR RUJUKAN
Abidin, M. Z. 2010. Landasan Sosiologi Pendidikan, (Online),
(www.masbied.com/2010/03/20/landasan-sosiologi-pendidikan/),
diakses pada 20 Oktober 2011.
Ardana, W. 1986. Dasar-Dasar Kependidikan. Malang:
FIP-IKIP Malang.
Hartoto.
2008. Landasan Dan Asas Pendidikan Serta
Penerapannya. (Online), (www.fatamorghana.wordpress.com/2008/07/12/bab-iii-landasan-dan-asas-asas
pendidikan-serta-penerapannya), diakses pada 20 Oktober 2011.
Shushilo.
2010. Makalah Landasan Pendidikan,
(Online), (www.shushilodjasela.blogspot.com/2010/12/makalah-landasan-pendidikan.html),
diakses pada 20 Oktober 2011.
Suryani, Y.
2010. Sosiologi Pendidikan (Materi
Landasan Pendidikan), (Online), (www.yeyensuryani.blogspot.com/2010/04/sosiologi-pendidikan-materi-landasan.html),
diakses pada 20 Oktober 2011.
Tim LAN. 2007.
Pengantar Pendidikan (Modul Diklat Calon
Widyaiswara),
Jakarta:
LAN RI.
Tirtarahardja, U. & Sula, S. L. L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar